Kamis, 01 Mei 2008

Bekal Da'i

Adapun upaya untuk meningkatkan ketakwaan diri yang menjadi bekal bagi dai untuk mengokohkan kepribadiannya, di antaranya sebagai berikut:
1. Al-mu’ahadah (berikrar)
Yang dimaksud mu’ahadah di sini adalah mengikrarkan diri kepada Allah dengan sebenar-benarnya untuk merealisasikan janji sebagaimana dalam surat An-Nahl ayat 91: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian itu, sesudah meneguhkannya, sedang kalian telah menjadikan Allah sebagai saksi kalian (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian perbuat”.Adapun salah satu upaya untuk melakukan mu’ahadah dapat berupa pernyataan sikap seorang mukmin dalam kesendiriannya kepada Rabb-nya dan berkata pada jiwanya: “Wahai jiwaku, sesungguhnya aku telah menyerahkan janji kepada Allah dalam kegiatan sehari-hari di hadapan Allah swt.”; dan memanjatkan doa: “Hanya kepada-Mu lah, ya Allah, aku beribadah dan meminta pertolongan. Tunjukilah aku ke jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau marahi dan orang-orang yang sesat.” Wahai jiwaku. Bukankah dalam munajat yang telah engkau ucapkan di hadapan Allah adalah ikrar dari engkau bahwa engkau tidak akan beribadah kecuali kepada Allah. Engkau tidak akan meminta pertolongan melainkan hanya kepada Allah. Dan engkau akan iltizam dengan jalan Allah yang lurus.Setelah ikrar tersebut, perlu dicamkan pernyataan berikut ini bahwa siapa yang melanggar janji sesungguhnya ia hanyalah melanggar janjinya sendiri. Siapa yang sesat, sesungguhnya ia telah menyesatkan dirinya sendiri. Dan seseorang itu tidak akan menanggung dosa orang lain dan Allah tidak akan menurunkan siksa-Nya melainkan setelah datangnya Rasul. Wahai saudara, sesungguhnya apabila Anda mengikat diri Anda setiap hari untuk iltizam dengan janji-janji ini yang Anda berikan tiap hari sebanyak tujuh belas kali atau lebih kemudian Anda menepati janji tersebut dan melaksanakannya, maka sesungguhnya Anda mulai naik menuju tangga takwa. Anda berjalan menuju rohaniah. Dan di akhir perjalanan, Anda sampai menjadi orang-orang yang bertaqwa.

2. Al-muraqabah (merasa diawasi)
Sebenarnya muraqabah adalah sabda Rasulullah saw. ketika beliau ditanya apa itu ihsan: “Yaitu engkau hendaklah beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat Allah. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (Muslim).Arti muraqabah adalah menghadirkan kebesaran dan keagungan Allah di setiap waktu dan kondisi ketika sendirian maupun waktu beramai-ramai sehingga kita selalu merasakan kebersamaan dengan Sang Maha Melihat dan Mendengar.Adapun upaya untuk meningkatkan muraqabah adalah: Hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya sebelum melakukan sesuatu pekerjaan atau di tengah-tengah proses kerja. Apakah pekerjaan ini digerakkan oleh kepentingan pribadi dan mencari sanjungan atau kemasyhuran. Ataukah ini digerakkan oleh keridhaan Allah dan mencari pahala dari–Nya. Apabila pekerjaan tersebut didorong karena Allah, hendaknya ia terus melangkah ke depan tanpa ragu-ragu. Tapi sebaliknya jika digerakkan hawa nafsu, sepatutnya ia berpaling dari padanya, meninggalkannya dan memperbaharui niat kembali dan bertekad untuk memulai mengerjakan amalan yang baru dengan tajarrud dari semua kepentingan pribadi, ikhlas dan mencari keridhaan Allah semata. Ikhlas dan tajarrud yang sebenarnya menjadi pembebasan yang menyeluruh dari tempat-tempat kemunafikan dan riya’.Imam Hasan Basri –semoga Allah merahmatinya– berkata: “Semoga Allah merahmati seseorang hamba yang serius memperhatikan niatnya. Apabila niatnya itu karena Allah swt., maka ia terus berjalan; dan apabila bukan karena Allah, ia berhenti tidak meneruskan amalan tersebut.” Muraqabah Allah bagi seorang hamba itu bermacam-macam: muraqabah Allah dalam hal-hal yang mubah, maka muraqabah ini dengan jalan menjaga norma-norma dan mensyukuri nikmat.Sesungguhnya jika Anda mempunyai muraqabah Allah sampai ke tingkatan ini, maka dengan tidak ragu-ragu lagi Anda telah menapaki jalan takwa. Anda melangkah ke jalan rohaniah dan di penghujung akhir Anda tiba di tempat orang-orang yang bertakwa.

3. Al-mu’aqabah (memberikan sanksi)
Maksud mu’aqabah ini adalah untuk memperkokoh kehendaknya mencapai ketakwaan dengan memberikan sanksi bila melakukan hal-hal yang dapat melemahkan cita-cita tersebut. Betapa pun manusia telah mengevaluasi dirinya, akan tetapi ia tidak akan terbebaskan dari perbuatan maksiat dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas untuk mengabaikannya. Jika ia mengabaikannya, maka ia akan mudah tergelincir melakukan kemaksiatan. Jiwanya menjadi senang kepada maksiat dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya sehingga mu’aqabah menjadi sangat urgen untuk mencapai hal tersebut. Pada dasarnya sanksi ini untuk semakin meningkatkan integritas dirinya dalam mengemban amanah dakwah ini. Seorang dai tidak boleh sungkan-sungkan untuk memberikan sanksi atas dirinya. Coba bayangkan bagaimana para sahabat terdahulu yang telah bersusah payah memberikan sanksi pada diri untuk mendapatkan ampunan-Nya. Mereka lakukan itu dalam rangka memperbaiki dirinya dari kesalahannya sehingga kesalahan tersebut tidak terulangi lagi. Keraguan untuk memberikan sanksi dapat menggampang-gampangkan semua urusan. Bila ini dihubungkan dengan dakwah, maka amat sangat fatal akibatnya.

4. Al-mujahadah (bersungguh-sungguh)
Mujahadah adalah berupaya sungguh-sungguh untuk mencapai derajat ketakwaan dan kekuatan rohaniahnya sehingga semaksimal mungkin mengerahkan berbagai potensi untuk bisa meraihnya. Setelah Anda mengetahui hal ini, marilah Anda ke tempat peristirahatan yang khusus. Apabila Anda meletakkan barang-barang bawaan Anda di tempat tersebut, maka Anda akan bernafas dengan nafas-nafas keimanan. Anda akan berbekal takwa. Diri Anda akan bersinar terang dengan cahaya rohaniah. Dan Anda akan menjadi insan yang shalih, mukmin dan bertaqwa, muslim yang berwibawa dan orang yang mukhlis. Bahkan jika Anda berjalan, maka dalam jalan Anda akan ada ketenangan. Apabila Anda berbicara, maka dalam pembicaraan Anda pengaruh yang kuat. Apabila Anda berbuat, maka perbuatan Anda adalah qudwah. Apabila Anda muncul, maka raut muka Anda ada daya tarik tersendiri. Dan apabila Anda melihat, maka dalam penglihatan Anda ada cahaya terang. Di tempat ini Anda akan menemukan proses tarbiyah dan mujahadah yang akan menjadi sumber inspirasi dan pendorong ruhiyah seorang dai.Bahkan tempat peristirahatan tadi akan menjadi penggerak utama baginya dalam memikul tanggung jawab. Ia akan menjadi pengemudi yang mahir dalam menempuh perjalanan istiqamah. Dan menjadi pengingat dari kesalahan dan penyelewengan. Apabila seorang dai tidak mempunyai petunjuk-petunjuk ruhiyah yang menyeluruh, maka hidupnya akan kosong dari kesan dan pengaruh. Ia akan jatuh dan sarang ujub, nifaq, dan riya’. Ia akan terjerumus dalam lumpur ghurur, ananiyah (egoisme), dan sombong. Ia berjalan ke arah dakwah karena didorong kepentingan pribadi, bukan karena Allah. Ia membangun kejayaan hanya untuk sendiri, bukan untuk Islam. Dan beramal hanya untuk dunianya, bukan untuk akhiratnya.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (Al-Kahfi: 28)

OBSESI VS MIMPI

Manusia selalu menginginkan peningkatan & kehidupan yang lebih baik, dan dengan hasrat inilah mereka kemudian membuat CITA-CITA.

Sebagian mendefinisikan dengan begitu sistematis dan menyebutnya sebagai OBSESI tapi kebanyakan manusia tidak mendefinisikan langkahnya sehingga ia hanya menjadi sebuah MIMPI.

Rahmat dan karunia Allah yang luarbiasa ini, yang Allah berikan kepada kita berupa HASRAT pada KESEMPURNAAN ternyata tidak seluruhnya menjadi OBSESI sebagian besarnya justru seringkali hanya menjadi sebuah MIMPI saja..

Sehingga Allah pun mengajarkan logika sederhana melalui lisan Rasulullah saw :
“Sebaik-baik manusia adalah yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok-nya lebih baik dari hari ini”.
Sebuah cara menuntun manusia agar hasrat akan kesempurnaan yang dimilikinya itu mewujud jadi OBSESI bukan sekedar MIMPI.. pada seluruh konteks kehidupannya

Dan yang harus kita sadari, bahwa kehidupan ini hanya menyediakan SATU KESEMPATAN.. satu usia saja bagi setiap kita.. untuk menjangkau kesempurnaan di hadapan Allah.

Untuk mewujudkan cita-cita KESEMPURNAAN kita harus menjaga 2 hal dalam penggunaan waktu / kesempatan di sisa usia kita :
1. menyempurnakan RUH
2. menyempurnakan AMAL (Content)